KENAPA ISTRI SAYA BERCADAR ?
Oleh: Ustadz Firdauz
Suatu ketika, saya dipanggil seseorang dan
dipertanyakan dengan pertanyaan yang tegas, menyudutkan dan lain-lain,
dipanggil dan dipertanyakan. Pak, kenapa istri kalian memakai cadar itukan
berarti menutup diri dari orang lain, kitakan namanya hidup harus bermasyarakat
kalau kita sudah tutup wajah kita, tidak kita tampakkan kepada orang lain
itukan sudah jelas artinya mengucilkan diri atau mengucilkan orang lain,
janganlah begitu dalam kehidupan kamu disini pendatang.
Akhirnya saya katakan, pak bapak tahu istri kami seperti itu sesungguhnya adalah
surga buat kami dan dia adalah bidadariku didalam hidupku.
Bapak tahu sewaktu kami menikah sewaktu akad
nikah terjalin antara kami berdua kami bersumpah bahwa sesungguhnya istriku
adalah milikku seutuhnya dan suaminya adalah milik dia seutuhnya dan kami
berjanji untuk tidak pernah sedikitpun mengumbar dan sedikitpun memberikan dan
memperlihatkan istri saya ini kepada orang lain selain daripada mutlak saya
suaminya yang melihatnya.
Pak, kami bahagia jika istri kami seperti
itu dan hati kami seperti diatas langit, jika saat kami melihat istri kami
seperti itu dan jika kami pandang istri kami maka dia bagaikan bidadari didalam
hidup kami.
Bapak tahu bagaimana bahagianya kami seorang
suami ketika istri kami tidak mau pergi dia berada didalam rumah saja, sehingga
tidak ada lagi rasa kecurigaan sedikitpun dihati kami, sehingga hidup kami
penuh dengan kebahagiaan. Bagaimana bahagianya hati kami ketika istri kami mau
keluar selangkah dari depan rumah kami, dia pun harus telepon dan meminta izin.
Adakah kebahagian yang pernah dialami oleh
bapak, tidak nggak akan bisa kami
yang memahaminya sehingga kami yang mengalaminya dan kami yang sangat bahagia dengan ini.
Tidakkah seorang suami berbahagia ketika
sang istri mau keluar pergi ke pasar harus ditemani oleh kami dan dia tidak
pernah melakukan pergi jauh tanpa bersama dengan kami, “bahagia hidup ini
terasa bagaikan surga dan kami terasa bagaikan memperistrikan bidadari”.
Itulah hati saya, “kenapa istri saya
bercadar”, itulah bahagia saya kenapa
saya membahagiakannya, dan kenapa saya memperjuangkannya untuk selalu seperti
itu. Kalaupun bapak melihatnya, bapak hanya bisa melihat bola matanya dan tidak
bisa melihat yang lain dari dirinya, mutlak hanya saya suaminya yang bisa
melihat sekujur tubuhnya, kecantikannya saya yang hanya menikmati. Kalaupun ada
aib pada dirinya hanya saya yang tahu sehingga saya tidak malu kepada orang
lain, karena hanya saya sendiri yang tahu tentang dirinya.
Itulah bahagia saya yang tidak ada dihati
bapak. Sekarang kita tukar hati, hati bapak saya miliki dan hati saya ambil-lah
biar tidak tersinggung. Bagaimana kalau istri saya mempertontonkan auratnya
kepada orang lain, mempertontonkan keindahan wajahnya, mempertontonkan
keindahan rambutnya, mempertontonkan cantiknya body-nya bentuk tubuhnya yang aduhai karena dia memakai baju yang
ketat bahkan dia memakai baju yang jarang-jarang. Dimanakah letak kebahagian
seorang suami, dimanakah letak kehormatan seorang suami , karena orang-orang
luar berkata: “oh ternyata istri si ini begini”, bahkan kalaupun dia lebih
tampil lebih seksi, barang kali anak –anak muda men siul-siul-kannya di
pasar, men siul-siul-kannya di jalan
sehingga tidak ada lagi kehormatan pada dirinya, yang tersisa hanya satu hanya kehormatan hakiki yang masih
dimiliki oleh bapak, yang lainnya sudah dinikmati orang melalui pandangan mata.
Hanya satu yang tersisa kalau kantong rahimnya adalah milik bapak sendiri, yang
lainnya sudah bisa dinikmati oleh orang lain. Akankah kita bahagia dimanakah
letak kebahagian.
Kita pulang dia tidak ada di rumah dan dia
tidak memberitahukan kita kemana dia pergi sehingga ketika pulang tidak ada
lagi rasa kebahagian.
Makanya, pak andaikan mau ditukar harta,
semua harta yang engkau miliki untuk kemudian istri kami berbuat melepaskannya
bagi kami tidak ada artinya harta, setelah kami menjumpai kebahagian bersama
istri yang sholihah seperti itu, buang semua harta tidak ada artinya, kaya raya
seapapun kita kalau istri kita mengumbar auratnya di luar, mengumbarkan
kecantikan kemolekkannya kepada orang lain tidak ada lagi artinya kita sebagai
suami kita yang diinjek-injek dalam
rumah tangga kita.
Karena itu islam menjunjung tinggi
perempuan, dia bagaikan seekor burung yang harus dipelihara didalam sangkar
rumahnya dan kemudian tugas kitalah yang mencarikan makan untuk dia, kamu duduk
saja, diam saja, perihalah anakmu, didiklah anakmu, asuhlah anakmu baik-baik,
sekarang ini makanan kuberikan untukmu dan berikanlah kepada anak-anakmu ,
akulah yang keluar mencarikan nafkah
untukmu. Kalaupun engkau pergi aku akan bersamamu, kalaupun aku akan bawa
engkau pergi aku akan tutup engkau karena cinta dan kasih sayangku kepadamu.
Tidakkah kita sadar, “Seekor burung yag dibawa pergi keluar sangkarnya
ditutupkan” ,itulah hakikinya seorang istri, seorang perempuan dihadapan Allah,
setelah kemudian jahiliah runtuh Islam timbul maka perempuan di junjung tinggi
oleh Allah
Sekarang saya jujur, maukah bapak jika hati
kita ditukar kembali. Akhirnya dia berkata, “Oh ia kalau kami punya teman yang
memang begitu sudah bercadar , tapi kalau kami susah menyuruh istri kami
bercadar”.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar